A.
Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS)
Suatu “daerah aliran sungai” atau DAS adalah
sebidang lahan yang menampung air hujan dan mengalirkannya menuju parit, sungai
dan akhirnya bermuara ke danau atau laut. Istilah yang juga umum digunakan
untuk DAS adalah daerah tangkapan air (DTA) atau catchment atau watershed.
Batas DAS adalah punggung perbukitan yang membagi satu DAS dengan DAS lainnya.
Karena air mengalir dari tempat yang tinggi ke
tempat yang lebih rendah sepanjang lereng maka garis batas sebuah DAS adalah
punggung bukit sekeliling sebuah sungai. Garis batas DAS tersebut merupakan
garis khayal yang tidak bisa dilihat, tetapi dapat digambarkan pada peta.
Batas DAS kebanyakan tidak sama dengan batas wilayah
administrasi. Akibatnya sebuah DAS bisa berada pada lebih dari satu wilayah
administrasi. Ada DAS yang meliputi wilayah beberapa negara (misalnya DAS
Mekong), beberapa wilayah kabupaten (misalnya DAS Brantas), atau hanya pada
sebagian dari suatu kabupaten.
Tidak ada ukuran baku (definitif) suatu DAS.
Ukurannya mungkin bervariasi dari beberapa hektar sampai ribuan hektar. DAS
Mikro atau tampungan mikro (micro catchment) adalah suatu cekungan pada bentang
lahan yang airnya mengalir pada suatu parit. Parit tersebut kemungkinan
mempunyai aliran selama dan sesaat sesudah hujan turun (intermitten flow) atau
ada pula yang aliran airnya sepanjang tahun (perennial flow). Sebidang lahan
dapat dianggap sebagai DAS jika ada suatu titik penyalur aliran air keluar dari
DAS tersebut.
Sebuah DAS yang menjadi bagian dari DAS yang lebih
besar dinamakan sub DAS; merupakan daerah tangkapan air dari anak sungai. DAS
dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu: bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem
bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran. Ekosistem
tengah sebagai daerah distributor dan pengatur air, sedangkan ekosistem hilir
merupakan pemakai air. Hubungan antara ekosistem-ekosistem ini menjadikan DAS
sebagai satu kesatuan hidrologis. Di
dalam DAS terintegrasi berbagai faktor yang dapat mengarah kepada kelestarian
atau degradasi tergantung bagaimana suatu DAS dikelola.
Di pegunungan, di
dataran tinggi dan dataran rendah sampai di pantai dijumpai iklim, geologi, hidrologi,
tanah dan vegetasi yang saling berinteraksi membangun ekosistem. Setiap
ekosistem di dalam DAS memiliki komponen hidup dan tak-hidup yang saling
berinteraksi. Memahami sebuah DAS berarti belajar tentang segala proses-proses
alami yang terjadi dalam batas sebuah DAS.
Sebuah DAS yang sehat dapat menyediakan:
·
Unsur hara bagi
tumbuh-tumbuhan
·
Sumber makanan
bagi manusia dan hewan
·
Air minum yang
sehat bagi manusia dan makhluk lainnya
·
Tempat berbagai
aktivitas manusia dan hewan
Beberapa proses alami
dalam DAS bisa memberikan dampak menguntungkan kepada sebagian kawasan DAS
tetapi pada saat yang sama bisa merugikan bagian yang lain. Banjir di satu sisi
memberikan tambahan tanah pada dataran banjir tetapi untuk sementara memberikan
dampak negatif kepada manusia dan kehidupan lain.
B.
Gambaran Umum Daerah Aliran Sungai Brantas
Sungai
Brantas adalah sebuah sungai di Jawa Timur yang merupakan sungai terpanjang
kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. Sungai Brantas bermata air di Desa
Sumber Brantas (Kota Batu), lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung,
Kediri, Jombang, Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua
manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten
Sidoarjo). Kali Brantas mempunyai DAS seluas 11.800 km² atau ¼ dari luas
Provinsi Jatim. Panjang sungai utama 320 km mengalir melingkari sebuah gunung
berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kelud. Curah hujan rata-rata mencapai
2.000 mm per-tahun dan dari jumlah tersebut sekitar 85% jatuh pada musim hujan.
Potensi air permukaan pertahun rata-rata 12 miliar m³. Potensi yang
termanfaatkan sebesar 2,6-3,0 miliar m³ per-tahun.
Sungai Brantas Dalam Sejarah
Sejak abad ke 8, di DAS Kali Brantas telah berdiri
sebuah kerajaan dengan corak agraris, bernama Kanjuruhan. Kerajaan ini
meninggalkan Candi Badut dan prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M sebagai
bukti keberadaannya. Wilayah hulu DAS Kali Brantas di mana kerajaan ini
berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi
yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat
kekuasaan di Jawa Timur. Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi
sumber air yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang
ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif
ditemukan di DAS Kali Brantas, lewat Prasasti Harinjing di Pare. Ada tiga
bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan
yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan
pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul)
yang disebut dawuhan pada anak sungai Kali Konto, yakni Kali Harinjing
(Lombard, 2000).
Sungai
Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60%
produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini.
Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa
dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum
bagi sejumlah kota disepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang
aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan
banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini menyebabkan
tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat
tinggi. Merujuk khazanah sastra Jawa, sungai Brantas ini yang diduga kuat
disebut sebagai Ci Ronabaya dalam naskah Bujangga Manik.
Pengembangan
DAS Kali Brantas
Sejak 1961 pengembangan sumber daya alam
Sungai Berantas sudah mulai diterapkan
menggunakan pendekatan modern yaitu berdasarkan prinsip satu sungai, satu
rencana, dan satu menejemen terpadu. Pelaksanaan motode ini dilaksanakan secara
bertahap sesuai dengan kebijakan pemerintah dan kebutuhan dari waktu ke waktu.
Ada 4 tahap yang dilalui dalam usaha pengembangan ini :
·
Pada 1961,
rencana induk pertama, mengacu pada pengendalian banjir, dengan membangun
sejumlah bendungan untuk menampung kelebihan air, pembuatan jalur pelepasan air
atau floof way, dan perbaikan alur sungai di bagian tengah DAS, dalam tahap ini
disediakan system peringatan dini banjir, dan jejaring pemantauan hidrologi
·
Pada 1973,
rencana induk kedua, mengacu pada penyediaan air irigasi karena adanya kebijakan
dari pemerintah untuk mencukupi kebutuhan
beras nasional. Sistem irigasi teknis diwujudkan dengan dibangunnya
sejumlah bendungan dan bendungan pengambilan air
·
Pada 1985,
rencana induk ketiga, mengacu pada penyediaan air baku, system penambahan debit
atau suplesi, sejumlah bendungan, dan beberapa struktur lain dibangun dalam
tahap ini.
·
Pada 1998,
rencana induk ke empat, mengacu pada konservasi dan mengacu pada menejemen
sumber daya air. System pengelolaan informasi hidrologi diberlakukan untuk dapat
mengendalikan kualitas dan kuantitas pengelolaan air.
Dari keempat tahapan ini dihasilkan
prasarana pengairan dalam jumlah yang cukup besar, seperti irigasi teknis
langsung dari sungai induk seluas 83.000 hektar sawah. Pengendalian banjir 50
tahunan di sungai utama yang mengurangi genangan seluas 80.000 hektar, suplai
air baku untuk domestic 240 juta m3 per tahun dan untuk industry 130
m3 per tahun, serta pasokan energy listrik 1000 giga watt per jam
per tahun.
Jumlah penduduk di wilayah tersebut
mencapai 14 juta jiwa atau 40 persen di antara total penduduk Jawa Timur.
Sungai Brantas merupakan sumber utama kebutuhan air baku untuk konsumsi
domestik, irigasi, kesehatan, industri, rekreasi, pembangkit tenaga listrik,
dan lain-lain. Namun, kondisi Sungai Brantas saat ini ternyata
memprihatinkan, meski diakui fungsinya sangat besar bagi kehidupan masyarakat.
Tingkat pencemaran sungai ini telah melewati ambang batas dan berpengaruh
negatif terhadap kehidupan biota perairan serta kesehatan penduduk yang memanfaatkan
air sungai. Bahan pencemar berasal dari limbah domestik.
limbah pertanian, limbah taman rekreasi,
limbah pasar, limbah hotel, limbah rumah sakit, dan limbah industri.
Pembuangan sampah di sepanjang sempadan
maupun langsung ke aliran Sungai Brantas bisa merugikan penduduk sekitar dan di
kawasan yang lebih rendah. Sampah yang menumpuk menimbulkan bau busuk karena
fermentasi, menjadi sarang serangga dan tikus, serta bisa menimbulkan kebakaran
karena adanya gas metana di tumpukan sampah.
Air yang mengenai sampah akan mengandung
besi, sulfat, dan bahan organik yang tinggi ditambah kondisi BOD (bio chemical
oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) yang melebihi standar air
permukaan.
Hasil pengukuran turbiditas air Sungai
Brantas di Kota Malang, daerah yang masih tergolong sebagai hulu, menghasilkan
kisaran angka 14 hingga 18 mg/l. Kisaran itu telah melebihi kekeruhan maksimum
(5 mg/l) yang dianjurkan dari Baku Mutu Air pada Sumber Air Golongan A
Ditinjau dari rasa, air Sungai Brantas
juga tidak sesuai baku mutu Faktanya, terdapat sekitar 330 ton per hari limbah
cair dihasilkan dari aktivitas manusia di sepanjang DAS Brantas. Sekitar 483
industri mempunyai pengaruh secara langsung terhadap Sungai Brantas dengan
kontribusi pencemaran hingga 125 ton per hari
Hasil penelitian ECOTON menunjukkan,
bahwa di Kali Surabaya sebagai hilir Sungai Brantas saat ini setiap hari 74 ton
BOD dibuang di kali tersebut. Pencemaran logam berat merkuri di Kali Surabaya,
pada beberapa lokasi, menunjukkan 0,09 mg/L atau 90 kali lipat dari standar
ketentuan tentang peruntukan kelas air sebagai bahan baku air minum sebesar
0,001 mg/L.
Tingkat kontaminasi bakteri e-coli juga
tidak jauh berebda. Bakteri e-coli umumnya berasal dari kotoran manusia.
Bakteri e-coli di Karang Pilang dan Ngagel/Jagir mencapai 64.000 sel
bakteri/100 ml contoh air. Padahal, sebagai bahan baku air minum, jumlah e-coli
dalam air tidak boleh melebihi 1.000 sel bakteri/100 ml
Jika ditinjau dari aspek kebijakan pun,
Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah lalai dari kewajibannya mengelola kualitas
air dan mengendalikan pencemaran di Sungai Brantas, minimal dengan melihat data
dan fakta tersebut. Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah lalai dari
kewajibannya untuk melindungi kawasan bantaran sebagai kawasan lindung, sehingga
mengakibatkan berdirinya bangunan-bangunan industri, gudang, dan permukiman
yang meningkatkan beban pencemaran. Tidak adanya kebijakan yang tegas tentang
bangunan di bantaran sungai mengakibatkan semakin menjamurnya permukiman warga
di sepanjang bantaran.
C. Permasalahan Utama Sungai Brantas
Permasalahan pokok di
DAS Kali Brantas adalah fluktuasi air permukaan yang ditandai oleh dua
peristiwa: kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Kegagalan
panen dan kelaparan menjadi akibat dari kekurangan air di musim kemarau,
sebaliknya di musim hujan terjadi bencana yang mengakibatkan korban harta
bahkan jiwa. Selain itu, kondisi aliran air Kali Brantas juga terkendala oleh
endapan sedimen yang dihasilkan letusan Gunung Kelud (+1.781). Setiap 10 hingga
15 tahun, gunung ini meletus – melontarkan abu dan batu piroklastik ke bagian
tengah dari DAS Kali Brantas – yang pada akhirnya menimbulkan gangguan fluvial
pada aliran air Kali Brantas. Dan penambangan pasir dilakukan oleh masyarakat menyebabkan terjadi penurunan dasar sungai. Hal itu
memicu longsornya tebing atau tanggul sungai.
Para petambang
menggunakan mesin penyedot pasir di Sungai Brantas, Kabupaten Mojokerto, Jawa
Timur
Sehingga Daerah aliran
sungai (DAS) Brantas dari Kabupaten Nganjuk, Jombang, hingga Mojokerto rusak
parah. Kerusakan disebabkan penambang pasir liar di wilayah tersebut.
Penambangan pasir menyebabkan tepi Sungai
Brantas longsor di 34 desa. Tepi sungai longsor di wilayah antara Turi Pinggir
di Nganjuk hingga Lengkong di Mojokerto. Belum lagi ditambah dengan semakin
besarnya pembuangan limbah industri yang dilakukan oleh beberapa perusahaan,
dimana pembuangan limbah langsung dialirkan ke sungai Brantas,
D.
Pemanfaatan DAS Brantas Bagi Kehidupan
Dahulunya sungai Brantas merupakan Pasokan air utama
yang penting bagi pertanian Kondisi Sungai Brantas saat ini ternyata
memprihatinkan, meski diakui fungsinya sangat besar bagi kehidupan masyarakat.
Tingkat pencemaran sungai ini telah melewati ambang batas dan berpengaruh
negatif terhadap kehidupan biota perairan serta kesehatan penduduk yang
memanfaatkan air sungai. Bahan pencemar berasal dari limbah domestik, limbah
pertanian, limbah taman rekreasi, limbah pasar, limbah hotel, limbah rumah
sakit, dan limbah industri.
Pemukiman padat penduduk di sekitar sungai Brantas
Sungai sudah semakin dangkal, dengan air yang
berwarna coklat dan kotor
Pembuangan sampah di sepanjang sempadan maupun
langsung ke aliran Sungai Brantas bisa merugikan penduduk sekitar dan di
kawasan yang lebih rendah. Sampah yang menumpuk menimbulkan bau busuk karena
fermentasi, menjadi sarang serangga dan tikus, serta bisa menimbulkan kebakaran
karena adanya gas metana di tumpukan sampah.
Sampah-sampah di sekitar sungai yang membuat sungai
dangkal
Tingginya tingkat pencemaran di Sungai Brantas
otomatis berdampak signifikan terhadap kualitas kesehatan masyarakat yang
tinggal di sepanjang bantaran. Kali Surabaya sebagai hilir Sungai Brantas,
contohnya. Berdasar data RSUD dr Soetomo yang dirilis ECOTON (2008), 2-4 persen
penduduk yang terdiri atas anak-anak (0-18 tahun) mengidap kanker.
Sebanyak 59 persen adalah kanker leukemia,
neuroblastoma (kanker saraf), limfoma (kanker kelenjar getah bening), dan tumor
wilms (kanker ginjal). Faktor dominan penyebab kanker adalah lingkungan,
genetis, virus, dan bahan kimia. Daerah aliran sungai yang menjadi tempat
tinggal pengidap kanker ini sudah terkontaminasi bahan pencemar, baik limbah
industri, rumah tangga, maupun persawahan.
E.
Dampak pengelolaan DAS Kali Brantas Terhadap
Lingkungan
Masalah yang perlu dipahami sebelum dilakukan
tindakan pengelolaan DAS. Harus mementingkan beberapa hal yang mengacu kepada
masalah yang telah dihadapi, apabila
masalah utama DAS adalah kurangnya debit air sungai untuk menggerakkan turbin
pembangkit listrik tenaga air (PLTA), maka penanaman pohon secara intensif
tidak akan mampu meningkatkan hasil air. Seperti telah diterangkan terdahulu,
pohon-pohonan mengkonsumsi air lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman
pertanian semusim dan tajuk pohon-pohonan mengintersepsi sebagian air hujan dan
menguapkannya kembali ke udara sebelum mencapai permukaan tanah.
Apabila masalah utama suatu DAS adalah kerawanan
terhadap banjir maka teknik yang dapat ditempuh adalah dengan mengusahakan agar
air lebih banyak meresap ke dalam tanah di hulu dan di bagian tengah DAS. Usaha
ini dapat ditempuh dengan menanam pohon dan/atau dengan tindakan konservasi
sipil teknis seperti pembuatan sumur resapan, rorak dan sebagainya.
Apabila yang menjadi masalah DAS adalah tingginya
sedimentasi di sungai maka pilihan teknik konservasi yang dapat dilakukan
adalah dengan memperbaiki fungsi filter dari DAS.
Peningkatan fungsi filter dapat ditempuh dengan
penanaman rumput, belukar, dan pohon pohonan atau dengan membuat bangunan
jebakan sedimen (sediment trap). Apabila menggunakan metode vegetatif, maka
penempatan tanaman di dalam suatu DAS menjadi penting. Penanaman tanaman
permanen pada luasan sekitar 10% saja dari luas DAS, mungkin sudah sangat
efektif dalam mengurangi sedimentasi ke sungai asalkan tanaman tersebut ditanam
pada tempat yang benar-benar menjadi masalah, misalnya pada zone riparian (zone
penyangga di kiri kanan sungai).
Apabila suatu DAS dihutankan kembali maka pengaruhnya
terhadap tata air DAS akan memakan waktu puluhan tahun. Pencegahan penebangan
hutan jauh lebih penting dari pada membiarkan penebangan hutan dan menanami
kembali lahan gundul dengan pohonpohonan. Lagipula apabila penanaman pohon
dipilih sebagai metode pengatur tata air DAS, penanamannya harus mencakup
sebagian besar wilayah DAS tersebut. Jika hanya 20- 30% dari wilayah DAS
ditanami, pengaruhnya terhadap tata air mungkin tidak nyata. Penyebaran tanaman
kayu-kayuan secara merata dalam suatu DAS tidak terlalu memberikan arti dalam
menurunkan sedimentasi.
Pemilihan teknologi untuk pengelolaan DAS tergantung
pada sifat DAS yang mencakup tanah, iklim, sungai, bukit dan masyarakat yang
ada di dalamnya. Oleh sebab itu tidak ada resep umum yang bisa diberikan dalam
memecahkan permasalahan DAS.
F.
Konservasi DAS Kali Brantas
Dengan semakin terbatasnya kemampuan pemerintah
karena meningkatnya tuntutan sektor-sektor lain atas pembiayaan dari anggaran
pembangunan, program-program konservasi DAS, tampaknya, semakin telantar.
Karena itu, sudah saatnya dipikirkan upaya keterlibatan masyarakat dalam
upaya-upaya pengendalian pencemaran, pengawasan, serta pengelolaan Sungai
Brantas. Keterlibatan ini tidak memandang usia. Anak-anak, orang dewasa, maupun
orang tua memiliki andil dalam konservasi Sungai Brantas.
Pelibatan masyarakat mungkin bisa dilakukan dengan
pengembangan kampung-kampung atau desa-desa ramah Sungai Brantas yang memiliki
kepedulian untuk menjaga kualitas air Sungai Brantas. Komunitas dalam kampung
atau desa ini harus berperan aktif mengurangi tingkat pencemaran domestik
sekaligus mengontrol buangan limbah industri.
Pemuda,
mahasiswa, dan pelajar adalah agen perubahan yang harus berperan aktif dalam
upaya pemulihan ekosistem Sungai Brantas yang akan menjadi pionir dan agent of
change di keluarga serta masyarakat sekolah dan kampusnya. Kegiatan yang mereka
lakukan bisa berupa kampanye konservasi Sungai Brantas secara khusus dan
lingkungan hidup secara umum. Baik dengan terjun langsung membersihkan sampah
sungai, menanam pohon, memanajemen sampah, atau pendekatan persuasif kepada teman-teman
di sekolah, kampus, keluarga, dan masyarakat. Jika konsep ini terlaksana dan
didukung masyarakat, kita masih bisa menaruh harapan akan masa depan Sungai
Brantas.
0 komentar:
Posting Komentar